Sabtu, 17 Agustus 2013

Ruangnya untuk Kekasihku.




Sesaat sebelum sore tadi, aku mengunjungi seorang teman yang tak dikenal.
karena pintu terbuka, aku mengintip ke dalam tempatnya. Mungkin adalah keputusan yang salah, tapi aku mulai terusik untuk masuk berkunjung.
Dia tak ada di rumah. Atau berada di ruang yang berbeda?
Namun yang jelas, aku tak suka pada gambar di dinding kamarnya.
Wajah kekasihku.

Namanya, bahkan rasa yang tertinggal dari simpatinya, diukir dengan indah disana.
Sekali-kali ia (wanita itu) menyisipkan cinta yang terlalu jelas untuk kuterka.
Menyelipkan bahagia, cemburu, dan banyak sekali rindu dalam lukisan kekasihku.
Aku bahkan dapat melihat gradasi emosional pada tiap anak tangga pada ruang waktunya.
Harapan, niat, dan akhirnya menjadi keyakinan yang mengantarnya pada (mungkin) keputusasaan.

Temanku ini adalah gadis yang biru.
Ia terlihat terlalu lembut untuk “me” dan “di” lukai. Aku yakin dia hanya ingin dan butuh menanti. Ya, paling tidak hingga waktu memaksannya untuk mencicipi apa yang disebut dengan bosan.
Lalu mulai banyak kontradiksi dalam kepalaku.
Melihat guratan rasa yang “dalam” pada satu demi satu frasanya, buatku yakin bahwa yang ia ukir ditiap senti dinding itu bukanlah tinta biasa.
Aku menyadari bahwa ia hanya seorang teman yang (mungkin) juga punya rasa sepertiku.
Bahwa ia juga dapat melihat keindahan yang sama denganku. Tapi aku yakin pada dalamnya rasaku. Bahwa kolam di depan mataku - dalam diri kekasihku - hanya tertembus olehku.
Aku, anyelir merah yang tumbuh disana. Jauh sebelum ruang yang kumasuki ini tercipta.
Ruangnya untuk kekasihku.

Jika kau berhasil temukan ini,
kamu hanya perlu tau bahwa kamu luar biasa, cantik. kamu punya ruang yang indah, perabotan yang tertata rapi dan lukisan-lukisan yang hidup.
Aku mengagumi kerasnya tembokmu untuk lindungi harapan yang terhirup disini.
Aku bisa merasakan rasamu padanya dengan hanya sekilas melihat, seperempat detik mengintip rumahmu.
Tapi ruangmu ini bukanlah untuknya.
Dia sudah tinggal pada hatiku. Jika garis tangan kami bersepakat mungkin akan menetap.
Memang harapan akan selalu ada, bahwa aku bukan kaktus atau mawar berduri yang dapat melukai “siapa dan apa” pun juga.
Aku hanya anyelir. Tapi “ini” bukan hal yang bisa disepelekan.
Aku tidak menyerah, dan tidak memaksa. Aku bertemankan waktu. Maka kamu jangan berharap pada waktu. Mungkin ia tak memihakmu jika kamu menginginkan kasihku.

Aku hanya ingin menyapamu.
 Jangan menunduk jika nanti sepulangku dari tempatmu ini, kita berpapasan di jalan ya?
Baiklah, karena kau tak ada disini, aku hanya meninggalkan pesan diatas meja ini.
Meja yang diatasnya tercetak citraku, aku tau kau tau tentangku.
Semoga kau baik-baik saja dan segera menemukan tuan dari mawar di vas antikmu ini.
Oh ya, ini ruangan yang bagus.

Salam hangat,
Anyelir Merah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar