Rabu, 29 Oktober 2014

Jika esok dimulai tanpaku dan aku tidak ada di sana tuk lihat senyummu.
Lalu mimpiku yang ingin kuyakini kini menjadi impi kita ikut hanyut, dilarung ke laut bersama abu juga daya hidupku. Dan yang perlu kau dengar, mimpiku tentang hidup:

Jendela bujur sangkar, jendela tentang hati, dunia, dan kebahagiaan.
Jendela lewatnya waktu dan masa yang terus berganti usia.
Tentang kamu yang berkendara pergi lalu kembali.
Kita melewati itu tiap hari.
Menyaksikan langit dan daun yang warnanya terus berganti.
Baik saat mencumbu pagi atau ketika memeluk bulan di akhir hari.
Dari situ aku memakukan tatap padamu tiap pagi,
bersiap pergi menantang kertas dan alat tulis.
Adalah punggungmu yang serupa luasan kasih tak ternilai,
dengan seribu ungkap hati yang terus kuseru sepanjang hidup.

Suatu nanti, aku akan mengaduk pagi dalam cangkir,
saat itu beristirahatlah untuk berpikir,
dan teguk pelan-pelan senja hingga detik berakhir.

Minggu, 05 Oktober 2014

Kita bertemu dalam desiran angin februari, di atas timbunan debu yang merumput, dan kamu mengilapkan semua dengan satu senyuman.

Kita tersenyum di tengah kemarau mei, saat daun-daun gugur dalam cokelat-emas, ketika punggungmu begitu lebar hingga rasa-rasanya tak dapat kurengkuh seutuhnya.

Saat bulan lama tak sapa malam, saat yang tinggal di kamar hanya kenangan dan kesal. Juni menjadi kelam, lama sekali keluar dari kalender di dinding ruang, ditemani sebungkus es krim yang kau beri malam itu, meratapi hati yang hilang garam.
Lalu entah bagaimana punya kaki, jarum bergerak cepat, laju berlari dari juli ke agustus yang indah, kita mekar di tengah semi yang hangat. Di bawah tangga, bersiap meniti satu-satu anak tangga dengan saling menggenggam. Dan kamu tersenyum seperti februari lalu, seperti pertama aku tertegun, menatap huruf "W" di tipis bibirmu.

Kasih, kini oktober datang membawa benang berwarna merah. Kan kah kelingkingmu sudi terikat denganku?
Lalu tiba-tiba ingatanku terlempar pada masa di mana "Aku tau resikonya" berdengung berkali-kali di telinga, di kepala, hati, dan terbawa dalam doa.
Aku ingin memelukmu sekali lagi sayang, namun kali ini ijinkan waktu tuk lepas dari logika. Bahkan kita akan melaju dalam tak hingga, dalam dimensi yang tak berbatas.
__
Aku sayang kamu.
Karena rasa-rasanya "ingin" lebih agung dari "butuh", inginilah aku. Di sini aku, karena hendakmu.

Selasa, 30 September 2014

Kasih, bagaimana jika aku tak punya esok tuk sembahkan bagimu?
bagaimana mata kita akan berpagut dalam detak yang malu-malu?
Bagaimana jika september ini tak tiba juga di tepi? Dan kita hanya sebatas malam polos dan masuk angin.

Kasih, apa terlalu berlebihan jika kuinginkan namamu yang memutih dalan tiap helai rambut tuaku?
Yang meresap dalam retakan pori sisa mudaku.

Jumat, 19 September 2014

Dalam petang, akhir hari yang panjang, pekat malam menelan sebagian kesadaran, melanturkan kamu dalam tiap helaan nafas. Kamu menyentuh seluruh inderaku, mengaburkan pandang dengan tawaran esok yang gembira, menyelimuti kulit yang mulai tebal rasa, menabur semerbak semi khas jatuh cinta, memetik senar yang lupa pernah bergetar. ahh juga mencicipkan manis kecup bibir bulan dalam kamboja malam.

Akhir-akhir ini kamu senang sekali hadir di atas bantal. Mengintip mimpi lewat ingatanku tentang senyum bibir tipis itu. Tak bosan lewat di mana-mana, walau sudah kutitipkan dalam puisi, gambar, atau doa, kamu tetap tak mau pindah dari sini, mengisi hati dan kepala.

Kasih, aku ingin menempuh esok yang mulus. Rata, tanpa lubang di dada.
Jadi tetaplah di sini, jangan biarkan hariku berlubang dengan langkahmu yang menjauh pergi.



Kamis, 11 September 2014

Aku tidak ingat apa-apa di 10 september malam. Kecuali kebahagiaan.
Meledak-ledak di dada, ricuh dan lembut sekaligus

". . .aku sayang kamu, ".

Senin, 08 September 2014

Hari ini purnama penuh mengisi petang.
cahayanya masuk lewat jendela. menguasai ruang, mengapresiasi hati yang tengah merekah merah.

Ketika itu, malam seperti ini. Saat bulan penuh seperti saat ini.
Kita menuruni senja, beranjak dari satu bukit ke bukit lainnya. Kamu masih sama. Masih saja lewat dan mengukir rona merah di wajah.
Memasuki pikuk kota madya, kita gembira. Entah apa yang kita tertawakan, hanya bahagia dan menebar kelopak mawar di sepanjang perjalanan pulang.
Saat kita berpisah di depan pagar, saat kamu tersenyum di akhir 11 juli malam, dingin pun tau ada hati di sana.

Dan kita bertemu lewat gambar, kata, bunga, keringat, dan macam-macam caraku menyentuh pundakmu. memeluk ranselmu.
Sedikit lebih unik, kamu memikat dengan hati-hati. Lebih dalam dan runcing. Menyerang dan bertahan.

Kembali pada bulan penuh yang mengisi petang ini,
aku jadi ingin lebih berharap. Pada waktu, keadaan.
Boleh kugantung sebuah harapan sembari berjalan?
Tentang kamu yang bukan sebatas waktu yang disekat tiap 24 jam padat, minggu, senin, selasa, rabu, dan sebagainya. Bukan kemarin, lusa, hari ini, atau besok. Tapi tentang kamu yang tak berbatas.
Kamu yang akan meneguk secangkir senja berisi teh tawar hangat bersamaku.

Senin, 25 Agustus 2014

Hari ini terlalu sulit untuk diterjemahkan. Hari ini adalah wangi pundakmu. Adalah kecupan di kening yang membekukan duniaku yang laju. Adalah jari-jari panjang yang terselip di antara jariku. Adalah rangkulan dalam bising malam. Adalah sakit oleh jantung yang bergerak terlalu cepat. Adalah tusukan di pelipis, kerutan di antara alis. Hari ini mendadak ruang menjadi sangat sepi. Sangat Sepi.
Aku berjanji, dinding ini aku rontok oleh nyanyian. Hancur karena tarian.

Hari ini adalah manis pedas seperti masakan ibu.

Hari ini terlalu rumit untuk diolah kalkulator. Hari yang tak terkata.
Hariku menegakkan kepala, meniup debu di ujung kuku! fuh!!

Selasa, 19 Agustus 2014

Seseorang pernah berkata, bahwa kebahagiaan itu sangat sederhana. Ketika dua orang malaikat kecil bermain ayunan di bawah pohon beringin. Ketika sepasang kakek-nenek membuka hari dengan "selamat pagi". Ya, sangat sederhana. Manisnya seperti meses untuk sarapan tadi pagi yang disiapkan ibu, atau jailnya saudara yang bikin panas kepala. Ada kebahagiaan di mana-mana.

Sore ini, kembali aku berjumpa bahagia.
Ketika aku menemukan bayanganku dalam matamu. Adakah kau lihat hal yang sama. Kamu di dalam mataku?
Ketika kita menertawakan diri sendiri. Tertawa geli. Terlalu geli hingga menggelitiki hati. menggugurkan semua hal memalukan dan tragisnya cerita di hari lalu. Merontokkan sesal yang menggantung-gantung di ingatan.
Adakah kau rasa hal yang sama?
Saat kulitmu menyentuh pori-poriku. Ada listrik di situ. Memberi tahu seluruh syaraf tubuh bagaimana kejutan jatuh cinta. Merasakan setiap detak yang anehnya seperti mengalir ke seluruh bagain diri. Terdengar jelas ritme kebahagiaan.
Adakah kau rasa hal yang sama?
Bebanku yang sepertinya musnah saat kau rangkul pundak rentaku. Dan tiba-tiba waktu berhenti seketika. Menyisakan kita di dalamnya. Detak jantungku bergerak semakin cepat, cepat, cepat, dan semakin cepat.
Hahahaaa kamu adalah hal ajaib di atas dunia. Yang membuatku lupa berkedip. Tidak memberiku kesempatan untuk bersedih. Kamu, tangan yang membuka keran hingga syukurku mengalir dengan deras.
Terima kasih Tuhan, Kau telah menciptakan serpihan surga di atas bumi. Terima kasih.


Minggu, 17 Agustus 2014

Kamu melengkapi. Menggambar kembali separuh hati yang terhapus pergi.
Memanggil lagi kata-kata khas jatuh hati yang sempat melarikan diri.
Menebalkan ujung jari saat bermain gitar, buatku terjaga tuk menyairkan cinta yang tak berhenti mekar.

Rabu, 16 Juli 2014

Senyummu adalah hari ini. Adalah udara hangat yang terselip di antara titik-titik hujan. Adalah detak jantung yang semakin kencang, bergemuruh dalam beku lorong yang panjang.

Sabtu, 21 Juni 2014

Situasi Beku.

Ini bukan tentang banyak suara berlalu-lalang.
Bukan tentang banyaknya manusia yang hadir di depan mata.
Tapi ini tentang kerinduan.
Tentang kehangatan orang-orang terkasih. Orang tua, Saudara, teman-teman, dan mungkin Kamu.
Tentang cinta yang rasa-rasanya lama tak dijumpai. Lama hilang dari hati.
Oh bukan hilang, lama tak ditampakkan.

Malam ini bukan tentang Sepi yang menyergapi hati.
Bukan gelap teras karena lampu padam. Bukan juga langit kosong yang tak bergurau.
Tapi kerinduan. Tentang hal akrab yang tiap hari ditemui dan kini tak lagi.
Bagaimana manusia kadang menjadi sangat lemah. rapuh melebihi debu.
Yang kadang-kala butuh air mata untuk pipi yang mulai kering. Basahi hati gersang yang retak-retak.

Namanya saja manusia. Mahkluk seperti kami punya kesadaran kuat tentang lubang pribadi.
Bahwa kami tidak benar-benar utuh. Kadang kami menjadi sangat manja dan lemah pada situasi, tentu kami sadar
dan benci mengakuinya.

Bagaimana denganmu, tuhan? kamu tak seperti kami para manusia bukan?
Ah maaf, maaf sudah entahlah. Maaf saja. Maaf saya manusia biasa.

Tapi situasi labil ini takkan berlangsung terlalu lama.
Saat-saat seperti inilah terlihat mana pelukan, mana cekikkan.

Sabtu, 07 Juni 2014

Kucing rumah.

Seekor kucing rumahan berjalan-jalan keluar. melihat dunianya yang sebesar sudut sebuah kota.
Di tikungan ia bertemu anjing liar, bertukar pikiran dan jatuh cinta.
Sesaat setelah berjalan kucing melihat tikus, refleks ia lari mengejar. Wajarlah, naluri seekor kucing.
Setelah lelah berlari, kucing kembali pada anjing tanpa membawa tikus yang diincarnya tadi.
Tiba-tiba anjing membentak geram. Merasa ditinggalkan, dilecehkan sebagai seekor anjing jantan liar yang garang. Merasa martabatnya lebih tinggi dibanding kucing betina rumahan yang baru keluar melihat dunia.
Kucing ditinggalkan, dan kembali berjalan sendiri.

Sehari sudah ia berjalan, tak banyak yang dilihatnya.
Banyak manusia jahat, sedikit lainnya hanya sesekali menoleh, entah tergolong baik apa biasa-biasa saja.
Kucing berhenti sebentar mengendus-ngendus kelaparan.
Datanglah seekor ayam, memandang kasihan dan menawarkan makanan.
Namun kucing bukan herbifora kan. Ia menolak dan berjalan lagi mencari makan.

Lama sudah perjalanan, rasanya hampir seluruh sudut sudah ia jejaki.
Ia ingin pulang ke rumah.
Saat berbalik, yang dilihatnya adalah tempat asing yang sesak oleh tawa. hingar-bingar kota menegangkan matanya. Kendaraan riuh, dengan egois lewat, menciprati tubuh kucing dengan genangan air.
Kucing tak lagi terlihat cantik. Kini ia kumuh, tak terawat, dan semakin merindukan rumah.

Tak terdaki.

Rasa-rasanya ada badai dalam dada.
Kamu adalah hembusan tipis angin siang yang masuk diam-diam ke dalam kamar.
Adalah ekspresi datar dengan sedikit genangan air di pelupuk mata.

Apa kabarnya kamu hai orang baru?
Rasanya kamu mengalahkan telak pertahanan ketatku.

Kamu yang rasa-rasanya tak begitu istimewa, kamu orang baru yang singgah dan menjajah.

Apa kabarnya kamu hai orang baru.
menyesatkan aku di antara gunung tinggi yang tak dapat kudaki.

Inilah minggu siang berisikan tiada.

Rabu, 04 Juni 2014

Romantis dan tragis.

Terima kasih pernah mampir sebentar di sini.
Walau cangkir di lemari akan merindukan kepulan asap teh yang kubuat untukmu,
paling tidak kursi yang kau duduki itu pernah merasa hangat setelah sekian waktu berlalu.

Terima kasih sudah segera pergi,
kamu hanya tidak mau menyakiti 'kan? Sebelum aku jatuh lebih dalam masuk lamunan.
Sebelum aku memenuhi dinding dengan macam-macam gambar senyuman.

Terima kasih segera peka,
kamu hanya tidak mau suatu nanti aku terkurung dalam gelap 'kan? menimbun diri dengan harapan yang kuciptakan sendiri.

Jangan tanyakan bagaimana dalam aku kehilangan.
Merindukanmu seperti pagi cerah yang kehilangan fajar. Seperi malam yang tak kenal gelap.
Tapi aku takkan berubah. Jangan terlalu menyesal telah pergi, aku adalah makhluk paling bahagia di bumi.
Aku akan selalu bahagia. Luka kecil di lutut, sikut, atau tulang kering sudah seperti teman bermain.
Aku akan selalu hangat dan membuka tangan. Syukurlah ada malaikat yang mereka sebut sahabat.

Akhirnya kini aku jadi lebih mengerti, kadang kala "menunggu" bisa jadi hal yang menyenangkan, begitu dirindukan. 

Romantis dan tragis secara bersamaan.

Senin, 02 Juni 2014

Hanya kemarin.

Hanya sampai kemarin aku menjadi pengagummu yang lugu.
kenyataannya adalah tak ada daun yang tinggal setia di dahan. hingga pada waktunya tiba, mereka akan pergi diterpa musim berangin.
Sama seperti kamu kemarin.
Yang diam-diam pergi meninggalkan senyumku yang terpaku untukmu.
Sama seperti kamu kemarin yang menyisakan gundah diakhir kehadiran.

Kamu memaksaku untuk menerka.
Bahwa mungkin kamu hanya bersinggah setelah penat menghadang.
Mungkin pelabuhan yang kau kunjungi tidak begitu tepat di hati?

Huh, aku mulai berburuk sangka.
Kamu yang paling tau mudahnya kepercayaan kutitipkan pada siapapun.
kamu yang paling tau rentanya sekatku yang tipis pemisah lugu dan bodoh,
kamu yang meninggalkanku dengan sebuah tanda seru.

Dan kenyataan terbuka lebar di mata.
Kamu benar, dari seluruh yang datang, sebagian besar akan mudah pergi dan hilang.

Minggu, 01 Juni 2014

Men

Darahku berdesir.
Setiap menemukan suratmu dalam kotak pos milikku. Aku berdesir.
Setiap kutiti satu-satu kata darimu, aku berdesir.
Memandangmu yang berlalu-lalang dalam kepala pun, aku berdesir.

Jumat, 30 Mei 2014

Bertahanlah.

Tak sedikit yang datang dan pergi.
Menjauh dengan setoples madu atau datang dengan menggenggam empedu.
Ya, itu tidak salah.

Belum lama ini, seorang berbaju koko datang dengan wajah datar. Terlihat arogan.
Sudah lama ia sering berlalu-lalang di muka rumah, namun kami tak pernah saling memandang.

Sore itu ia datang, mengetuk pintu dengan pensil di tangan.
aku pikir, itulah pensil yang aku cari untuk kertas di lemari.

Kami duduk dan mulai berbincang ria.
Dari kristal di dalam mata, abu-abu yang hidup di kanvas, ajaibnya dunia, hingga cemilan renyah berbunyi tawa. Tak sekali ia mengingatkan untuk tak lupa pada kalung Salib yang melingkari leher. Tak seperti mereka yang malu-malu untuk berkata.

Semua mulai terlihat berbeda. Tak ada bedanya kami memandang vertikal.
Hanya situasi terlalu sempit untuk pandangan kami yang luas.

Dan pembicaraan mulai hangat.
Bahkan setelah dua cangkir teh di meja ini tidak lagi mengepul, aku harap kamu masih mau duduk lebih lama, berbincang dan tertawa bersama.

Selasa, 29 April 2014

Sepasang Mata di Bawah Alis.

Lalu setelah aku siap kembali menata ruang di dalam hati, ternyata kamu sudah lebih dulu berada di sini. "Jangan menangis lagi seperti kemarin." kira-kira begitulah katanya tadi.


Ya, tidak lagi ada lelehan air mata seperti kemarin. Tidak lagi.

Kamis, 20 Februari 2014

Surat yang Teringkari.

Maafkan aku, namun kita tidak bisa selamanya diam dan saling menunggu.
Lupakanlah semua yang lalu, waktu, yang sudah ajarkan kita tentang bagaimana melangkah ke depan,
yang telah mengijinkan kita tuk tau bagaimana rasanya dicintai, mencintai, peduli, marah, kecewa, dan banyak hal lain. Semua terasa menyenangkan dan indah.

Tapi saat ini bukan lagi kemarin saat kita masih hijau. Saat ini bukan lagi kemarin saat semua terasa mudah dan mungkin. Maafkan aku atas banyak hal sedih dan menyebalkan yang telah kutoreh.
Terima kasih atas kesediaanmu mendengarkan dan menemani langkah sulitku di hari lalu.

Sekarang hidup akan membawa kita pada tujuan yang berbeda, pada mimpi, asa, harapan, dan jalan yang berbeda. Kamu akan selalu hadir dalam doaku, tidak pernah luput dari relungku.
Semoga kamu bahagia.
Tetaplah jadi yang terbaik yang pernah kumiliki.
Biarlah singkatan nama kita tetap terukir pada tempatnya, hingga suatu nanti kita tersenyum saat larut dalam kenangan yang haru.

____________________________________________
Suratku yang tak pernah sampai, tak pernah selesai.
Tak pernah nyata dan tak lagi kuterima keberadaannya.
Surat lalu yang lusuh. 
Surat yang kata-katanya mengusang terlelap jaman.
Surat yang kau tampik dengan kasih. 
Yang melunturkan satu-satu kata dengan hujanan rindu yang tertampung.
Surat yang kuharap tidak pernah tulus dari hati, tak pernah kurangkai diujung jari.
Yang kuingkari.
Jadilah masa lalu suratku, menghilanglah dalam ketiadaan.


Kapan datang?

Setiap malam, semua malam, tak satupun potongannya terasa berbeda. 
Sejak satu persatu kelopak bunga jatuh meninggalkan kenangan. Tergeletak di tanah, menunggu tersentuh hujan, tertimbun guguran daun yang sebentar lagi terpisah dari dahan. 

Kapan kau datang? 
Menyatukan kelopak-kelopakku yang terbang bersama gelisah.

Senin, 17 Februari 2014

Bersambung.

"Siapa alasan dari lengkung di wajahmu? Siapakah yang terpantul dalam bening matamu?"
Berlalu-lalang dalam kepala. Menyisakan gelisah, tanya, dan lamunan berat.
Tak hanya curiga, pikiran jahat dan prasangka menyerang dengan gencarnya. Namun yang dapat dilakukan hanya tetap percaya bahwa ada seseorang yang tengah berjuang pula di suatu tempat sana.  

Merajut kenangan, menjadi sweater penghangat pikiran.
Karena tidak pernah mengecewakan untuk percaya pada tatapan sayu. Janjinya tak pernah layu atau terbang bersama bayu.

Namun entah, mengapa bertambah dewasa tidak membuat perpisahan demi perpisahan yang dialami terasa lebih ringan dan menyenangkan? Mereka yang meninggalkan akan pergi dan sibuk untuk beradaptasi kembali, sedang mereka yang ditinggalkan akan sibuk menata lagi hari dengan kenangan-kenangan yang berserakkan di setiap sudut ruang.
Bagaimana hidup bersamamu setiap hari menyisakan rindu yang tak pernah tersalur. Sebab kamu tak nyata dalam pandang. Hanya kenangan yang kau tinggalkan.

Tapi tak apa, setiap senti waktu adalah berharga. Setiap lembar harapan serta nama yang kulipat dan larung dalam doa adalah kekuatan untuk melangkah ke depan.
Mari menunggu waktu memulai pertunjukkan yang kita siapkan. Mari berjuang. Mari berusaha.
Aku menanti di tepi hamparan pasir yang menunggu kita jejaki.


Hari seperti ini.

Di hari seperti ini pada bagian waktu yang telah lalu, dua orang remaja pergi menyudut dari bising kota. Mereka pergi bersama hanya untuk merekahkan rasa dan tawa. Lalu pulang dengan senyum malu-malu terukir di wajah.

Kini dua manusia dewasa terpisah dalam rentangan jarak yang berbeda. Menerka-nerka rasa, melarutkan bayang kekasih lampaunya dalam lamunan, dan saling mendoakan.

15 Feb 2014


Minggu, 09 Februari 2014

Potongan cinta di halaman Gereja

"Dulu dari sebuah desa di pinggiran kota, sekelompok malaikat kecil sedang bermain, saling mengejar dan tertawa di halaman Gereja. Dan aku sungguh bersyukur dapat berada di tengah mereka. Sambil sesekali mencuri senyummu dalam cahaya senja.

Kemarin saat pulang, aku kembali berlari di halaman Gereja. Kini sendiri tanpa para malaikat kecil. Mereka telah dewasa dan memilih untuk meninggalkan sayap putihnya. Tapi Gereja dari kayu itu masih berdiri dengan rupa yang tak berbeda dari yang lalu. sama seperti perasaanku, tak lapuk, tak rapuh. Masih sama seperti gembiranya hari itu, saat para malaikat kecil mengenalkanku pada indahnya senyummu."


Selasa, 14 Januari 2014

Peringatan musim

Kepada Daun,
Sebentar lagi angin siap menerjang. Bersiaplah.


Hari ini cuaca mulai kehilangan kestabilannya. Dengan lantang hujan datang, tak berarti sejurus kemudian matahari tak menyengat dengan ganas.
Tampaknya kau tak perlu berwas-was sendiri menghadapi musim.

Kelopak dandelion pun mulai kehilangan arah ketika angin terasa ingin menyerah.