Minggu, 28 April 2013

Naskah?

Untuk sekian kalinya, ini rasa yang sama.
Waktu jelas tunjukkan bening air di kolam.
yang dulu sulit kutafsir, berkabut ragu,
sulit kupandang, tersapu malu.
Mulai jelas terpahat dalam frasamu.

Tak ragu yakinmu.
juga kuatmu. Hanya saja, aku yang mulai tak "Aku".
Tak lagi utuh, Terisi kamu.

Bukankah cinta tidak berawal terukir Naskah?
bukan juga rasa yang tersutradara tanpa sadar.
Tak perlu jawab tanyaku. ini hanya tanyaku. Untukku.
Tertuju memang untukku.

Jumat, 26 April 2013

Tak Berpuisi (Rindu). Tak Bernotasi (sendu).

Selalu segar di ingatan,
tentang senyum, tawa, tatap, dan sentuhanmu.
Yang mengusik sela hati, cerahkan kelam hari.
Mampukanku tuk tersenyum dalam penat,
Berlari walau penuh dengan keringat.

Tunggu, dia menelfon !
19:30 WIB
______________________________________
Rupanya memastikan bahwa aku baik-baik saja..
Dan sepenggal uraian cerita pendek yang ku ungkap padanya,
tentang kemarin, sekarang, dan esok yang akan kita lalui.
Aku tau bahwa semua akan baik-baik saja.
Bahwa relasi ini ada dalam tengah grafik normal pada statistika
yang kupelajari kemarin.

Aku terlalu merindukanmu,
itu sebabnya kamu selalu hadir dalam mimpiku seminggu ini.
Tapi itu tak sembuhkan juga rinduku,
hanya legakan, dan buatnya kembali dipuncak.

Kali ini, aku tak berpuisi.
Hanya untaian kata yang terasa tanpa sortiran.
kata-kata yang tak bernotasi dengan sendu, 
yang terlahir dari setumpuk lamunanku tentangmu. tentang kita.
Tentang rasa, keyakinan, keteguhan, kepercayaan, kesetiaan, keseimbangan,
dukungan, pelengkapan, kebutuhan, dan cinta.
Ini tercipta begitu saja,
Ya, karena kamu yang kucinta. kamu :)

Minggu, 21 April 2013

Aku yang Terberkati.

Terima kasih karena telah terlahir.
Merasa begitu berarti dan berharga ada disampingmu.
Ada bangga saat bisa menguatkanmu. Mendukung, dan berbagi rasa denganmu.
Saat tawa tiba-tiba membuncah antara kita, tanpa sebab yang jelas kurasa.
saat tangis meleleh dari dikedua mataku,
atau tertahan dipelupuk matamu.
aku yakin, kita akan semakin kuat karenanya.

Terima kasih karena telah terlahir.
Membawa hangat di tengah hari dinginku.
Membawa warna pada pola hitam-putih yang muak bagiku.
Kekuatan yang kau tularkan dari tatap teguhmu,
yang yakinkanku bahwa esok kan baik-baik saja.
Memelukku, erat, hingga terdengar tiap detak dari jantungmu.
Aku, selalu nyaman berada didekatmu.

Terima kasih karena telah terlahir.
Kata-kata lembut atau keras yang kau hujam dihatiku.
yang terkenang senyum,
atau kerutan diantara kedua alisku.
Ya, itulah caramu menguatkanku.
mengajari aku menatap hidup dengan yakin dan realistis.
Bahwa hidup tak selamanya manis. Bahkan dengan jalinan ini.
Belajar tuk tak terbuai manis yang dalam. Biasa mengecap pahit.

Terima kasih karena telah terlahir.
Merasa diberkati karena hadirmu. Dicintai, dan mendapat dukungan darimu.
Jika ini takkan selamanya terjadi, jika ini suatu ketika akan terhenti.
aku akan tetap bersyukur,
bahwa bukti nyata Tuhan memberkatiku adalah bertemu denganmu.
Terima kasih.

Jumat, 19 April 2013

Dibawah Langit ber"Ironi"

Saat hari ini begitu penat dan kalap kurasa.
Yang mendesak dan memaksa,
Yang dipenuhi tekanan dan kebohongan.
Aku tidur dibawah langit.
Indah, biru, cerah, dan damai. Ironi bagi jiwa yang patah ini.
Apa, kamu mengejekku langit?
Cerah ketika kelam kurasa?

Tuhan, maafkan aku yang seperti ini. Maaf

Senin, 15 April 2013

Silentium

Hari dimana aku tidak ingin banyak berkata.
Menyiratkan rasa yang terbungkus sajak.
Aku hanya tidak ingin banyak berucap. Bercuap-cuap, tersenyum,
dan tertawa.
Hanya butuh diam.

Seperti lirih pergerakkan jarum jam yang dapat teteskan asa.
Yang berlalu perlahan, tinggalkan gores kejadian biru.
Entahlah, aku hanya butuh diam.
Tinggalkan aku sebentar saja.
Untuk yakinkan diri, Bertahan.

Jumat, 12 April 2013

Detak waktu

Detak jam yang masih berbunyi.
Akan terus berbunyi hingga baterai melemah.
Baterai yang memampukan tiap detik bergulir, mengalir sepanjang jarum.
Yang mengingatkan tentang perubahan waktu tadi, sekarang, dan nanti.

Bagaimana aku dapat mempertahankan rasa yang memudar ini?
disaat ketidaktepatan cinta datang darimu.
Bagaimana aku melawan waktu yang terus berdetak mengejek kepudaranku.
Biar kucari jalanku sendiri.
Maafkan aku, waktu.

Senin, 08 April 2013

"Ibu yang Anaknya Diculik Itu"

Karya: Seno Gumira Ajidharma



Ibu terkulai di kursi seperti orang mati. Pintu, jendela, televisi, telepon, perabotan, buku, cangkir teh, dan lain-lain masih seperti dulu—tetapi waktu telah berlalu sepuluh tahun. Tinggal Ibu kini di ruang keluarga itu, masih terkulai seperti sepuluh tahun yang lalu. Rambut, wajah, dan busananya bagai menunjuk keberadaan waktu.
Telepon berdering. Ibu tersentak bangun dan langsung menyambar telepon. Diangkatnya ke telinga. Ternyata yang berbunyi telepon genggam. Ketika disambarnya pula, deringnya sudah berhenti. Ibu bergumam.
”Hmmh. Ibu Saleha, ibunya Saras yang dulu jadi pacar Satria. Sekarang apapun yang terjadi dengan Saras dibicarakannya sama aku, seperti Saras itu punya dua ibu. Dulu almarhum Bapak suka sinis sama Ibu Saleha, karena seperti memberi tanda kalau Saras itu tentunya tidak bisa terus menerus menunggu Satria. ’Orang hilang diculik kok tidak mendapat simpati,’ kata Bapak. Kenyataannya selama sepuluh tahun Saras tidak pernah bisa pacaran sama siapapun. ’Saya selalu teringat Satria, Ibu, saya tidak bisa’,” katanya.
”Tapi inilah soal yang pernah kubicarakan sama Si Saras. ’Kuhargai cintamu yang besar kepada Satria, sehingga kamu selalu terlibat urusan orang-orang hilang ini,’ kataku, ’tapi cinta adalah soal kata hati, Saras, karena kalau terlalu banyak alasan dan perhitungan dalam percintaan, nanti tidak ada tempat untuk hati lagi…’ Ah, Saras, memang rasanya ia seperti anakku juga. Semenjak Bapak meninggal setahun yang lalu, rasanya semakin peduli dia kepada rumah ini, membantu aku membereskan kamar Satria, seperti tahu betul rasa kehilanganku setelah ditinggal Bapak…”
Ibu sudah sampai ke kursi tempatnya duduk tadi, dan duduk lagi di situ. Ibu terdiam, melihat ke kursi tempat Bapak biasanya duduk. Lantas melihat ke sekeliling.
”Bapak… Kursi itu, meja itu, lukisan itu, ruangan ini, ruang dan waktu yang seperti ini, kok semuanya mengingatkan kembali kepada Bapak. Seperti ini juga keadaannya, bahkan aku masih ingat juga pakai daster ini ketika kami berbicara tentang hilangnya Satria. Waktu itu sudah setahun Satria tidak kembali, dan kami masih seperti orang menunggu. Aku waktu itu masih percaya Satria suatu hari akan kembali… Kenapa harus tidak percaya, kalau memang tidak pernah kulihat sesuatu yang membuktikan betapa Satria tidak akan kembali… Apa salahnya punya harapan… Hidup begitu singkat, apa jadinya kalau harapan saja kita tidak punya…
”Jadi dalam setahun itu harapanlah yang membuatku bertahan hidup. Harapan bahwa pada suatu hari Satria pasti pulang kembali… Berharap dan menunggu. Berharap dan menunggu. Berharap dan menunggu. Tapi Bapak memaksa aku untuk percaya bahwa Satria sudah pergi. ’Satria sudah mati,’ katanya!”
Ia menggigit bibir, berusaha sangat amat keras untuk menahan tangis.
”Tidak! Aku tidak mau percaya itu! Meski dalam hatiku sudah terlalu sering kuingkari diriku, bahwa kemungkinan besar Satria mestinya sudah mati.”
Ibu memandang ke arah kursi Bapak.
”Pak, Bapak, kenapa kamu hancurkan semua harapanku? ’Kita harus menerima kenyataan,’ katamu. Nanti dulu, Pak. Menerima? Menerima? Baik. Aku terima Satria sudah mati sekarang. Tapi aku tidak terima kalau Satria itu boleh diculik, dianiaya, dan akhirnya dibunuh.”
Perempuan dengan rambut kelabu itu tampak kuat kembali.
”Bapak sendiri yang bilang, ada teman Satria yang dibebaskan bercerita: Sebelum dilepas tutup matanya dibuka. Di hadapannya, orang-orang yang menculiknya itu menggelar foto-foto di atas meja. Itulah foto-foto keluarga teman Satria yang diculik. Foto orangtuanya, foto saudara-saudaranya. Lantas orang-orang itu berkata, ’Kami tahu siapa saja keluarga Saudara.’
”Huh! Saudara! Mana mungkin manusia bersaudara dengan monyet-monyet! Apalagi maksudnya kalau bukan mengancam kan? Bapak bilang teman Satria ini juga bercerita, suatu hari salah seorang yang waktu itu mengancam terlihat sedang memandangi dirinya waktu dia baru naik bis kota. Ini apa maksudnya Pak? Supaya teman Satria itu tidak boleh bercerita tentang perbuatan mereka? Teror kelas kambing maksudnya? Apakah ini semua boleh kita terima begitu saja?”
Saat Ibu menghela nafas, ruangan itu bagaikan mendadak sunyi.
”Sudah sepuluh tahun. Satria sudah mati. Bapak sudah mati. Munir juga sudah mati.”
Dipandangnya kursi Bapak lagi. Sebuah kursi kayu dengan bantalan jalinan rotan. Jalinan yang sudah lepas dan ujungnya menceruat di sana-sini.
”Apa Bapak ketemu sama Satria di sana? Enak bener Bapak ya? Meninggalkan aku sunyi sendiri di sini. Apa Bapak dan Satria tertawa-tawa di atas sana melihat aku membereskan kamar Satria, menata gelas dan piring, sekarang untuk kalian berdua, setiap waktu makan tiba, padahal aku selalu makan sendirian saja. Memang aku tahu Bapak dan Satria tidak ada lagi di muka bumi ini, tapi apa salahnya aku menganggap kalian berdua ada di dalam hatiku? Apakah kalian berdua selalu menertawakan aku dan menganggapku konyol kalau berpikiran seperti itu?”
Sejenak Ibu terdiam, hanya untuk menyambungnya dengan suara bergetar.
”Kadang-kadang aku bermimpi tentang kalian berdua, tetapi kalau terbangun, aku masih juga terkenang-kenang kalian berdua, dengan begitu nyata seolah-olah kalian tidak pernah mati. Impian, kenangan, kenyataan sehari-hari tidak bisa kupisahkan lagi.
Jiwa terasa memberat, tapi tubuh serasa melayang-layang…”
Lantas nada ucapannya berubah sama sekali, seperti Ibu berada di dunia yang lain.
”…. jauh, jauh, ke langit, mengembara dalam kekelaman semesta, bagaikan jiwa dan tubuh telah terpisah, meski setiap kali tersadar tubuh yang melayang terjerembab, menyatu dengan jiwa terluka, luka sayatan yang panjang dan dalam, seperti palung terpanjang dan terdalam, o palung-palung luka setiap jiwa, palung tanpa dasar yang dalam kekelamannya membara, membara dan menyala-nyala, berkobar menantikan saat membakar dunia…”
Ibu mendadak berhenti bicara, berbisik tertahan, memegang kepalanya, menutupi wajahnya.
”Ah! Ya ampun! Jauhkan aku dari dendam!”
Namun ia segera melepaskan tangannya.
”Tapi…. bagaimana mungkin aku merasa perlu melupakan semuanya, jika kemarahanku belum juga hilang atas perilaku kurangajar semacam itu.”
Nada bicaranya menjadi dingin.
”Menculik anak orang dan membunuhnya. Apakah setiap orang harus kehilangan anggota keluarganya sendiri lebih dulu supaya bisa sama marahnya seperti aku?”
Hanya Ibu sendiri di ruangan itu, tetapi Ibu bagaikan merasa banyak orang menontonnya, meski semakin disadarinya betapa ia sungguh-sungguh sendiri.
”Bapak… aku yakin dia ada di sana, karena kusaksikan bagaimana dia dengan tenang meninggalkan dunia yang fana; tetapi aku tidak bisa mendapatkan keyakinan yang sama jika teringat kepada Satria. Memang akalku tidak bisa berpikir lain sekarang, bahwa Satria tentu sudah tidak ada. Tetapi Ibu mana yang kehilangan anak tanpa kejelasan bisa tenang dan bahagia hanya dengan akalnya, tanpa membawa-bawa perasaannya? Bagaimana perasaanku bisa membuatku yakin, jika Satria pada suatu hari memang hilang begitu saja? Ya, begitu saja… Bahkan orang mati saja masih bisa kita lihat jenazahnya!”
Seperti masih ada yang disebutnya Bapak di kursi itu, tempat seolah-olah ada seseorang diajaknya bicara.
”Pak, Bapak, apakah Bapak melihat Satria di sana Pak? Apakah Bapak ketemu Satria? Apa cerita dia kepada Bapak? Apakah sekarang Bapak sudah tahu semuanya? Apakah Bapak sekarang sudah mendapat jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan kita?”
Namun Ibu segera menoleh ke arah lain.
”Ah! Bapak! Dia sudah tahu semuanya! Tapi aku? Aku tentunya juga harus mati lebih dulu kalau ingin tahu semuanya! Tapi aku masih hidup, dan aku masih tidak tahu apa-apa. Hanya bertanya-tanya. Mencoba menjawab sendiri. Lantas bertanya-tanya lagi. Dulu aku bisa bertanya jawab dengan Bapak. Sekarang aku bertanya jawab sendiri….
”Tapi apa iya aku sendiri? Apa iya aku masih harus merasa sendiri jika begitu banyak orang yang juga kehilangan? Waktu itu, ya waktu yang seperti takpernah dan takperlu berlalu itu, bukankah ratusan ribu orang juga hilang seketika?”
Terdengar dentang jam tua. Tidak jelas jam berapa, tetapi malam bagaikan lebih malam dari malam. Ibu masih berbicara sendiri, dan hanya didengarnya sendiri.
”Bapak, kadang aku seperti melihatnya di sana, di kursi itu, membaca koran, menonton televisi, memberi komentar tentang situasi negeri. Seperti masih selalu duduk di situ Bapak itu, pakai kaos oblong dan sarung, menyeruput teh panas, makan pisang goreng yang disediakan Si Mbok, lantas ngomong tentang dunia. Tapi Si Mbok juga sudah meninggal, menyusul Bapak, menyusul teman-temannya pemain ludruk yang semuanya terbantai dan mayat-mayatnya mengambang di Kali Madiun…
”Sebetulnya memang tidak pernah Bapak itu membicarakan Satria, malah seperti lupa, sampai setahun lamanya, sebelum akhirnya mendadak keluar semua ingatannya pada suatu malam entah karena apa.
”Sudah sepuluh tahun, banyak yang sudah berubah, banyak juga yang tidak pernah berubah.”
Di luar rumah, tukang bakmi tek-tek yang dulu-dulu juga, tukang bakmi langganan Satria, lewat. Ibu tampak mengenali, tapi tidak memanggilnya.
”Bagiku Satria masih selalu ada. Tidak pernah ketemu lagi memang. Tapi selalu ada. Memang lain sekali Satria dengan kakak-kakaknya. Dua-duanya tidak mau pulang lagi dari luar negeri, datang menengok cuma hari Lebaran. Yang sulung Si Bowo jadi pialang saham, satunya lagi Si Yanti jadi kurator galeri lukisan, kata Bapak dua-duanya pekerjaan ngibulin orang. ’Ya enggaklah kalau ngibul,’ kataku, ’apa semua orang harus ikut aliran kebatinan seperti Bapak?’. Biasanya Bapak ya cuma cengengesan. Dasar Bapak. Ada saja yang dia omongin itu.
”Aku sendiri rasanya juga sudah mulai pelupa sekarang. Susah rasanya mengingat-ingat apapun. Belakangan sebelum meninggal Bapak juga mulai pikun. Lupa ini-itu. Kacamata terpasang saja dicarinya ke mana-mana…”
Ibu tersenyum geli sendiri.
”Tapi ia tidak pernah lupa tentang Satria. Ia selalu bertanya, ’Seperti apa Satria kalau masih hidup sekarang?’, atau ’Sedang apa ya Satria di sana?’, atau kadang-kadang keluar amarahnya: ’Para penculik itu pengecut semuanya! Tidak punya nyali berterus terang! Bisanya membunuh orang sipil tidak bersenjata, sembunyi-sembunyi pula!’
Wajah Ibu kini tampak sendu sekali. Bahkan tokek untuk sementara tidak berani berbunyi.
”Bapak, kenapa kamu tidak pernah muncul dalam mimpiku untuk bercerita tentang Satria? Pasti Satria menceritakan semua hal yang tidak diketahui selama ini, bagaimana dia diperlakukan, dan apa sebenarnya yang telah terjadi.
”Kenapa kamu tidak sekali-sekali muncul Bapak. Muncul dong sekali-sekali Bapak. Duduk di kursi itu seperti biasanya.
”Memang kamu selalu muncul dalam kenanganku Pak, bahkan juga dalam mimpi-mimpiku, tetapi kamu hanya muncul sebagai bayangan yang lewat. Hanya lewat, tanpa senyum, seperti baru menyadari betapa kenyataan begitu buruk.
”Duduklah di situ dan ceritakan semuanya tentang Satria.
”Ceritakanlah semua rahasia….”
Ibu masih berbicara, kini seperti kepada seseorang yang tidak kelihatan.
”Kursi itu tetap kosong. Seperti segalanya yang akan tetap tinggal kosong. Apakah semua ini hanya akan menjadi rahasia yang tidak akan pernah kita ketahui isinya?
”Rahasia sejarah. Rahasia kehidupan.
”Tapi ini bukan rahasia kehidupan yang agung itu.
”Ini suatu aib, suatu kejahatan, yang seandainya pun tidak akan pernah terbongkar….
Telepon genggam Ibu berdering. Ibu seperti tersadar dari mimpi. Ibu beranjak mengambil telepon genggam.
”Pasti ibunya Saras lagi,” gumamnya.
Tapi rupanya bukan.
”Eh, malah Si Saras.”
Ibu mengangkat telepon genggamnya di telinga.
”Ya, hallo… “
Setelah mendengarkan apa yang dikatakan Saras, telepon genggam itu terloncat dari tangan Ibu yang terkejut, seolah tiba-tiba telepon genggam itu menyetrum.
”Gila!” Ibu berujar kepada tokek di langit-langit yang tidak tahu menahu.
”Para pembunuh itu sekarang mau jadi presiden!”
 ____________________________________________________________________________

Kamis, 04 April 2013

Hanya Bertanya.

Aku memikirkanmu lagi saat ini.
Mungkin 1 menit, 2 menit, 3 menit, dan
bermenit-menit kedepan masih akan terus memikirkanmu.
Apa aku masih boleh memikirkanmu jika sekarang kamu berada didepanku?
Atau jika kamu bersamaku, apa masih boleh aku merindukanmu?

Hanya untaian ke"Klise"an yang aku pikirkan sendiri.
Yang membebani pikiran dengan ini-itu yang tidak diujiankan.
Lantas aku masih ingin terus bertanya-tanya lagi,
Tentang hal absurd yang tidak ingin kutemukan jawabnya.
Aku hanya ingin bertanya. Hanya itu.

Jika aku bertanya padamu,
maukah kamu dengan setia mendengarkan,
dan menjawab pertanyaan-pertanyaanku?
Atau, bisakah kamu dengan setia mendengarkan dan menjawab tanyaku?
Apa jawabanmu?
Jika bahkan aku sendiri tidak ingin mencoba untuk menjawab.

Dan mega legam ini kembali merayap di angkasa.
Menggelayut mengikuti arah pikiran dan raguku. Ragu?
Benarkah gumpalan sesak di dada ini disebut Ragu?
Apa yang aku ragukan? Tentang aku yang bukan Aku. Hanya imajinerkah Aku?
Seperti potongan-potongan rekaman orang lain di kepalaku yang menyatu menjadi Aku.

Lalu setelah begitu, Masih maukah kamu menjawab pertanyaanku?
Pertanyaan Klise yang hanya ingin kutanyakan. Hanya ingin bertanya.
Maukah kamu mencintaiku?