Kamis, 20 Februari 2014

Surat yang Teringkari.

Maafkan aku, namun kita tidak bisa selamanya diam dan saling menunggu.
Lupakanlah semua yang lalu, waktu, yang sudah ajarkan kita tentang bagaimana melangkah ke depan,
yang telah mengijinkan kita tuk tau bagaimana rasanya dicintai, mencintai, peduli, marah, kecewa, dan banyak hal lain. Semua terasa menyenangkan dan indah.

Tapi saat ini bukan lagi kemarin saat kita masih hijau. Saat ini bukan lagi kemarin saat semua terasa mudah dan mungkin. Maafkan aku atas banyak hal sedih dan menyebalkan yang telah kutoreh.
Terima kasih atas kesediaanmu mendengarkan dan menemani langkah sulitku di hari lalu.

Sekarang hidup akan membawa kita pada tujuan yang berbeda, pada mimpi, asa, harapan, dan jalan yang berbeda. Kamu akan selalu hadir dalam doaku, tidak pernah luput dari relungku.
Semoga kamu bahagia.
Tetaplah jadi yang terbaik yang pernah kumiliki.
Biarlah singkatan nama kita tetap terukir pada tempatnya, hingga suatu nanti kita tersenyum saat larut dalam kenangan yang haru.

____________________________________________
Suratku yang tak pernah sampai, tak pernah selesai.
Tak pernah nyata dan tak lagi kuterima keberadaannya.
Surat lalu yang lusuh. 
Surat yang kata-katanya mengusang terlelap jaman.
Surat yang kau tampik dengan kasih. 
Yang melunturkan satu-satu kata dengan hujanan rindu yang tertampung.
Surat yang kuharap tidak pernah tulus dari hati, tak pernah kurangkai diujung jari.
Yang kuingkari.
Jadilah masa lalu suratku, menghilanglah dalam ketiadaan.


Kapan datang?

Setiap malam, semua malam, tak satupun potongannya terasa berbeda. 
Sejak satu persatu kelopak bunga jatuh meninggalkan kenangan. Tergeletak di tanah, menunggu tersentuh hujan, tertimbun guguran daun yang sebentar lagi terpisah dari dahan. 

Kapan kau datang? 
Menyatukan kelopak-kelopakku yang terbang bersama gelisah.

Senin, 17 Februari 2014

Bersambung.

"Siapa alasan dari lengkung di wajahmu? Siapakah yang terpantul dalam bening matamu?"
Berlalu-lalang dalam kepala. Menyisakan gelisah, tanya, dan lamunan berat.
Tak hanya curiga, pikiran jahat dan prasangka menyerang dengan gencarnya. Namun yang dapat dilakukan hanya tetap percaya bahwa ada seseorang yang tengah berjuang pula di suatu tempat sana.  

Merajut kenangan, menjadi sweater penghangat pikiran.
Karena tidak pernah mengecewakan untuk percaya pada tatapan sayu. Janjinya tak pernah layu atau terbang bersama bayu.

Namun entah, mengapa bertambah dewasa tidak membuat perpisahan demi perpisahan yang dialami terasa lebih ringan dan menyenangkan? Mereka yang meninggalkan akan pergi dan sibuk untuk beradaptasi kembali, sedang mereka yang ditinggalkan akan sibuk menata lagi hari dengan kenangan-kenangan yang berserakkan di setiap sudut ruang.
Bagaimana hidup bersamamu setiap hari menyisakan rindu yang tak pernah tersalur. Sebab kamu tak nyata dalam pandang. Hanya kenangan yang kau tinggalkan.

Tapi tak apa, setiap senti waktu adalah berharga. Setiap lembar harapan serta nama yang kulipat dan larung dalam doa adalah kekuatan untuk melangkah ke depan.
Mari menunggu waktu memulai pertunjukkan yang kita siapkan. Mari berjuang. Mari berusaha.
Aku menanti di tepi hamparan pasir yang menunggu kita jejaki.


Hari seperti ini.

Di hari seperti ini pada bagian waktu yang telah lalu, dua orang remaja pergi menyudut dari bising kota. Mereka pergi bersama hanya untuk merekahkan rasa dan tawa. Lalu pulang dengan senyum malu-malu terukir di wajah.

Kini dua manusia dewasa terpisah dalam rentangan jarak yang berbeda. Menerka-nerka rasa, melarutkan bayang kekasih lampaunya dalam lamunan, dan saling mendoakan.

15 Feb 2014


Minggu, 09 Februari 2014

Potongan cinta di halaman Gereja

"Dulu dari sebuah desa di pinggiran kota, sekelompok malaikat kecil sedang bermain, saling mengejar dan tertawa di halaman Gereja. Dan aku sungguh bersyukur dapat berada di tengah mereka. Sambil sesekali mencuri senyummu dalam cahaya senja.

Kemarin saat pulang, aku kembali berlari di halaman Gereja. Kini sendiri tanpa para malaikat kecil. Mereka telah dewasa dan memilih untuk meninggalkan sayap putihnya. Tapi Gereja dari kayu itu masih berdiri dengan rupa yang tak berbeda dari yang lalu. sama seperti perasaanku, tak lapuk, tak rapuh. Masih sama seperti gembiranya hari itu, saat para malaikat kecil mengenalkanku pada indahnya senyummu."