Jumat, 30 Mei 2014

Bertahanlah.

Tak sedikit yang datang dan pergi.
Menjauh dengan setoples madu atau datang dengan menggenggam empedu.
Ya, itu tidak salah.

Belum lama ini, seorang berbaju koko datang dengan wajah datar. Terlihat arogan.
Sudah lama ia sering berlalu-lalang di muka rumah, namun kami tak pernah saling memandang.

Sore itu ia datang, mengetuk pintu dengan pensil di tangan.
aku pikir, itulah pensil yang aku cari untuk kertas di lemari.

Kami duduk dan mulai berbincang ria.
Dari kristal di dalam mata, abu-abu yang hidup di kanvas, ajaibnya dunia, hingga cemilan renyah berbunyi tawa. Tak sekali ia mengingatkan untuk tak lupa pada kalung Salib yang melingkari leher. Tak seperti mereka yang malu-malu untuk berkata.

Semua mulai terlihat berbeda. Tak ada bedanya kami memandang vertikal.
Hanya situasi terlalu sempit untuk pandangan kami yang luas.

Dan pembicaraan mulai hangat.
Bahkan setelah dua cangkir teh di meja ini tidak lagi mengepul, aku harap kamu masih mau duduk lebih lama, berbincang dan tertawa bersama.